THE FAMILY RULE
Sudah dikodratkan sejak semula bahwa manusia itu adalah mahkluk individu sekaligus mahkluk sosial, dikotomi ini membawa konsekwensi bahwa kehidupan manusia bukan cuma untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain. Aplikasi dari teori ini bisa terlihat dalam perjalanan kehidupan manusia, sejak awal kelahirannya manusia hanya bisa menangis, tangisanlah yang mengkomunikasikan semua keinginan untuk dituruti, tetapi masayarakat disekitarnya atau keluarga selalu bisa membantu sehingga kebutuhan individu sang bayi bisa terlayani karena ada manusia lain yang membantu. Saat manusia sudah menjadi anak – anak rasa egois itu masih ada tetapi dia sudah belajar berbagi dengan teman sebayanya misalnya saat bermain petak umpet maka akan ada anak yang tugasnya berjaga dan sudah pasti ada yang sembunyi, andaikan satu sama lain hanya ingin sembunyi maka permainan itu tidak akan bisa berjalan. Pernah penulis tersenyum ketika memperhatikan sekelompok anak – anak yang sedang bermain, ada salah satu anak yang ”nakal” saat bermain petak umpet kalau dia kebagian berjaga maka dia menyatakan buyar (keluar dari permainan) tapi kalau ada teman yang mau berjaga dia masuk lagi, kisah ini mengungkap betapa tinggi egoisme seorang anak kecil.
Hidup bermasyarakat juga demikian, selalu ada banyak cerita berelasi yang kadang menyenangkan kadang menyedihkan. Misalnya ada seorang ibu jika bercerita selalu minta didengarkan jadi dia selalu nyerocos tanpa mau tahu apa orang lain juga dapat kesempatan bercerita. Atau kisah sebaliknya seorang pemuda yang hanya mendengarkan saran dan selalu merasa butuh untuk saran – saran baru dalam memutuskan sesuatu dan merasa tidak mampu andaikan diminta saran oleh rekannya.
Dengan fakta – fakta kehidupan seperti itu maka dibutuhkan sebuah tatanan dalam pola kehidupan bermasyarakat, sehingga muncullah norma, etika, hukum adat, hukum serta perundang – undangan. Undang – undang atau aturan itu perlu ada kesepakatan untuk menghormatinya supaya tatanan yang diharapkan bisa berjalan baik. Suatu contoh: misalkan semua orang tidak mau peduli dengan aturan tentang lampu merah (trafic light) semua kendaraan harus berhenti. Bisa anda bayangkan betapa kacau dan semrawut jalan raya kita.
Selain kesepakatan harus ada pengendali atau perangkat penanggung jawab tatanan tersebut. Dalam negara kita polisi adalah perangkat yang menjaga supaya aturan itu ditaati. Maka sudah sewajarnya jika polisi menindak para pelanggar aturan termasuk juga aturan berlalu lintas. Tetapi dalam masyarakat yang kesadaran hukumnya masih rendah kadang aparat penegak hukum dianggap sebagai momok atau penjagas
Lingkup terkecil hubungan sosial manusia adalah dalam keluarga, dan keluargapun perlu aturan biarpun bersifat fleksibel dan atas dasar kasih sayang. Contohnya dalam budaya jawa atau kebanyakan budaya asia, etika yang berlaku seorang suami adalah saudara tua atau dituakan dalam keluarga sehinga istri harus memanggil mas, kakang atau lebih umum Bapak,papa, pak’e. Juga dalam keluarga besar atau keluarga dekat masih sangat menentukan terhadap pengambilan keputusan dikeluarga tersebut, apalagi kalau keluarga tersebut termasuk anak termuda maka saran dari kakak, bapak atau ibu masih harus dipenuhi, kalau itu tidak dilaksanakan maka akan ada sangsi moral mungkin berupa gunjingan, ditegor oleh yang dituakan atau lebih parah bisa dikucilkan dalam keluarga besar itu. Bahkan untuk aturan perkawinan andaikan sang kakak belum menikah maka adik harus bersedia menunggu, kalau terpaksa harus melewati (melangkahi ) sang kakak, maka harus ada mahar yang dibayarkan kepada sang kakak. (bandingkan dengan kisah Yakub menukar hak kesulungan Esau dengan semangkuk sup kacang merah ).
Selain etika atau norma dalam keluarga perlu juga ada aturan yang ditetapkan, misalnya istri kebagian tugas memasak dan mencuci untuk keluarga sedangkan suami bertugas menyapu lantai dan mengepel. Atau suami sambil kerja harus mengantar anak sedangkan memandikan dan menyiapkan sarapan tugas seorang istri. Jika sudah memiliki anak maka anak bisa dilibatkan misalnya anak harus mencuci pakaiannya sendiri dan melaporkan nilai sekolahnya setiap minggu pada ibu atau bapak dan tugas – tugas lain yang bertujuan melatih tanggung jawab anak.
Peraturan dalam keluarga juga harus ada pelaksana dan perangkat penegakkannya. Suami sebagai kepala keluarga harus bisa memberi contoh yang baik juga mengawal penegakkan peraturan, istri sebagai wakil juga demikian harus bisa mengambil alih tanggung jawab suami andai suami sedang tidak dirumah.
Namun peraturan dalam keluarga seperti dituliskan diatas harus berlandaskan rasa cinta sebab jika tidak demikian maka yang terjadi adalah perselisihan dan satu sam lain merasa paling benar. Semoga tulisan ini bisa menjadi sharing bermanfaat bagi semua orang yang membaca.***
(Daniel Kurniadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar