Rabu, 04 Januari 2012

RESENSI BUKU

“ BENCANA DI NEGERI ABUNAWAS "

 Judul Buku      : OBRAK – ABRIK IRAQ

  Editor              : Budiarto Shambazy

Penerbit           : Kompas - Jakarta

Cetakan           : 1 / 2003

Halaman          : viii + 190 Halaman
Ukuran                        : 14 x 21 cm

Dalam Pembukaan UUD’ 45 bangsa Indonesia mengakui bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Dengan amanat itu seharusnya Indonesia dengan politik bebas aktif mampu menjadi pelopor untuk  sebuah solusi damai bagi setiap pertikaian dimanapun dibelahan bumi ini. Namun dimanakah Indonesia ketika ekspansi Amerika ke Iraq berlangsung ???.
Memakai isu kepemilikan senjata pemusnah massal yang dapat mengancam perdamaian dunia, maka Amerika bersama sekutunya membombardir Bahgdad. Sebuah sejarah baru bagi Iraq sebuah negeri yang terkenal kaya akan minyak bumi harus berjuang sendiri melawan kediktatoran USA. Rute penaklukan ini perawal dikota Umm-Qasr sebuah kota pelabuhan di Tenggara Iraq, dari titik ini pasukan Marinir Amerika bergerak sejengkal demi sejengkal sampai akhirnya berhasil menguasai Bahgdad.
Banyak tragedi yang terjadi selama penaklukan, dan buku ini mencoba untuk mengungkap cerita itu. Buku ini adalah kumpulan liputan yang pernah dimuat di harian KOMPAS selama berlangsungnya perang di Iraq yang sampai saat ini belum sepenuhnya berakhir. Dengan membaca buku ini kita bisa mengukur bagaimana pandangan masyarakat Indonesia terhadap perang di Iraq.
Media massa selalu efektif untuk mengawali dan mengakhiri sebuah peristiwa. Ketika perang fisik sedang berlangsung di Iraq perang propaganda juga terjadi antara media barat yang diwakili CNN,AFP dan VOA melawan media timur tengah yang dimotori Al Jazeera-Qatar. Sejak awal berdirinya tahun 1996 Al Jazeera menempatkan dirinya sebagai CNN nya timur tengah. Dengan personel yang sudah berpengalaman sebagai wartawan dan eksekutif di media barat khususnya BBC-London, media berbahasa Arab ini mencoba mengupas peristiwa dari pandangan Orientalisme (baca : bercorak ketimuran). Perang media ini mengakibatkan diobrak - abriknya situs stasiun TV ini sehingga tidak bisa diakses oleh pemirsanya juga dilarangnya reporter Al Jazeera meliput di Bursa Efek New York.
Jika perang dimedia berlomba menjual berita tentang keprihatinan dibalik sebuah konflik namun tragedi yang sesungguhnya dilapangan adalah terlantarnya rakyat sipil sebagai korban perang.. Ketika perang terjadi sebagian besar warga Iraq mengungsi ke Yordania, mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian. Dengan fasilitas seadanya mereka mencoba tetap bertahan hidup dan ini masih lebih baik daripada saudara mereka yang tewas atau terluka akibat peluru tentara Amerika. Memang sulit dibayangkan, jika sebelumnya Iraq adalah sebuah negeri yang berkelimpahan, harus porak poranda akibat perang.
Perang Iraq seperti kesalahan dalam sebuah sistem perdamaian dunia yang selama ini dimandatkan kepada PBB. Lembaga ini sebenarnya berhak memberikan peringatan terhadap konflik yang terjadi antar negara, namun PBB laksana macan yang kehilangan gigi saat berhadapan dengan Amerika. Awal polemik ini terjadi di Internal Dewan Keamanan PBB ketika Anggota tetap DK ( Rusia,Perancis & China ) mengancam akan menggunakan hak Veto jika USA tetap melakukan invasi ke Iraq. Tapi Amerika tetap memaksakan ambisinya walaupun tidak mendapat dukungan politis dari PBB, dan Sekjen PBB waktu itu Kofi Annan hanya bisa mengungkapan keprihatinannya atas penyerbuan itu.
Ketika perang terjadi jutaan mata menyaksikannya melalui televisi atau media cetak. Luapan ekspresi marah, geram, sedih, haru bercampur jadi satu namun tidak jarang yang ketawa ketika menyaksikan kejadian lucu saat tentara Amerika jatuh berguling – guling ketika mencoba menyelamatkan diri dari tembakan musuh. Namun pemirsa TV tetaplah seperti konsumen yang telah membeli tiket dan tidak wajib menolong ketika tragedi kemanusian itu sedang berlangsung.
Sebuah refleksi kecil bisa kita hayati : Memang Indonesia sedang tidak dilanda perang namun bencana alam telah memporak porandakan sendi – sendi kehidupan masyarakat kita. Dimanakah posisi kita, ketika bencana itu terjadi ??, akankah kita cuma menonton didepan TV atau kita siap membantu seperti Palang Merah dimedan pertempuran. Pertanyaan yang sama juga bagi negara kita, dimanakah Indonesia ketika konflik antar bangsa tidak juga sirna dari bumi ini ???. ****( Daniel Kurniadi ) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar