Senin, 26 Mei 2014

ANAK MAMA ATAU COWBOY


Bung Karno dalam pidato terkenalnya "Jas Merah" mengingatkan kepada kita agar jangan pernah melupakan sejarah. Pesan ini juga disampaikan untuk Indonesia sebagai sebuah bangsa, karena dari sejarah inilah pijakan untuk perencanaan pembangunan ke depan dengan sebuah pondasi pembangunan yang benar - benar kokoh.
Kehidupan berkeluargaku rasanya juga terinspirasi dengan pidato Bung Karno tersebut, inspirasi ini didapat ketika merenungkan peristiwa sakit yang diderita anakku. Berawal sharing dengan pengurus RT perihal konsumsi susu anakku. Aku menceritakan bahwa seminggu yang lalu anakku terserang penyakit Flu Singapura, aku dengan semangat menceritakan saat anakku sakit. Saat kelurgaku menjagai dengan hati penuh kecemasan. Sepertinya cerita itu mengalir layaknya sinetron durasi pendek.
Dan tersampaikan pula  tentang kejang demam yang sering dialami anakku, paling tidak sampai usia 3 tahun 4 bulan anakku sudah mengalami 4x kejang demam. Kalau mau lebih rinci kejang demam ini terjadi sejak usia 2 tahun, jadi dalam kurun waktu  16 bulan sudah mengalami 4 x kejang demam.
Kemudian tetangga itu dengan santai mengomentari " Ya begitu Pak, kalau anak minum susu botol, daya tahan fisiknya tidak sekuat anak yang diberi ASI ". Aku terkejut sekali dengan komentar itu, selama ini aku selalu menghubungkan sakit penyakit ini dengan kegiatan yang kami lalui bersama, juga jajanan yang dikonsumsi anakku, juga kualitas obat yang diberikan dokter spesialis pada anakku. Namun sebagai bapaknya aku tidak pernah terfikir bahwa ada sejarah yang memang melatar belakangi sakit penyakit yang dia alami.
Memang dulu waktu Alvin masih bayi  sempat mengkonsumsi ASI walau hanya sebentar mungkin tidak sampai 1 tahun, lalu dilanjutkan dengan susu kemasan. Saat itu profesi mamanya menuntut dia untuk bekerja dari pagi sampai malam, paling sore mamanya pulang jam 20.00. Rutinitas mamanya pulang jam 21.00 bahkan sampai jam 23.00. Emang sih pendapatannya menjanjikan namun ternyata ada imbas yang harus didapatkan.
Rutinitas mamanya ini membuat Alvin hanya mengkonsumsi ASI saat pagi hari sebelum mamanya berangkat dan saat malam hari saat mamanya pulang, makanan tambahan sebagai asupan nutrisi ditunjang oleh susu kemasan. Dugaan logisku (analisa awam) ASI mamanya yang diterima malam hari kualitasnya juga tidak sebaik jika diberikan rutin tiap jam, karena kondisi fisik mamanya yang sudah kelelahan sehabis bekerja  berpotensi menurunkan kwalitas ASI. Selanjutnya dengan kebiasaan bemberikan ASI dengan tidak rutin membuat ASI itu keluar tidak lancar, yang menyebabkan proses peralihan nutrisi alami dengan nutrisi olahan harus dipercepat. Akhirnya mulai saat itu sampai sekarang Alvin mengkonsumsi susu dalam kemasan.
Secara Fisik Alvin terlihat sangat sehat dan aktif, bahkan dia terlihat lebih aktif dari teman - temannya juga pertumbuhan lebih baik. Namun dibalik kecerdasan dan pertumbuhan yang baik dia juga gampang kelelahan, menderita beberapa jenis alergi makanan dan sering mengalami kejang demam.
Ternyata Tuhan itu sudah memproses kehidupan alam ini proposional,... Sangat .... Sangat proposional. Bayangkan anak manusia dia harus mendapat nutrisi dari air susu ibunya supaya mempunyai ketahanan fisik, kekebalan dan pertumbuhan yang sesuai untuk manusia. Sedangakan jaman sekarang Manusia harus dipaksakan untuk minum susu sapi karena ibunya sibuk dengan urusan duniawinya.
Ya, itulah realita .... Dan semoga realita yang seperti itu semakin cepat disadari oleh manusia bahwa hidup didunia ini memang harus bijaksana. Landasan keputusan harus benar matang supaya dikemudian hari tidak ada penyesalan untuk sebuah tindakan masa lalu.
"Jangan pernah melupakan sejarah" itulah pesan sederhana namun memiliki arti yang sangat dalam. Belajar dari sejarah ini semoga anak keduaku bisa kujaga dengan baik dan semoga juga istriku bisa mengatur waktunya untuk memberikan ASI yang sehat untuk bayinya. (Amin)

Senin, 12 Mei 2014

BELAJAR BERIMAN


PERTOBATAN MASSAL
BACAAN       : YUNUS 3 : 1 - 10

INTRO
* Jika dalam sebuah komunitas ada 1 orang waras hidup diantara 1000 orang gila, siapakah yang dianggap gila ?? Dan siapakah yang dianggap waras ???

Disebuah desa yang damai tiba - tiba dilanda pageblug “”hilang ingatan”, orang yang dulu hidup tenang mendadak menjadi gelisah, yang dulunya bersahabat berubah bermusuhan. Yang dulu rendah hati berubah menjadi sombOng yang jujur menjadi pendusta.
Hal aneh itu awalnya sangat mengejutkan penduduk desa sampai merekapun takut keluar rumah. Akhirnya sang kepala desa memanggil para tetua adat yang masih waras untuk berunding. Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa harus ada seseorang yang berangkat mencari obat untuk pageblug hilang ingatan. Konon obat itu hanya ada digunung Kamulyan, obat itu berupa daun pohon kehidupan.
Tetua adat dan kepala desa memilih seorang pemuda bernama Iman, seorang yang cakap, kuat dan paling berani dibandingkan pemuda desa lainnya untuk berangkat ke Gunung Kamulyan.
Singkat cerita Sang pemuda berhasil mendapatkan obat itu, bukan hanya daunnya tetapi dia berhasil memperoleh tunas pohon kehidupan. Tetapi sayangnya untuk mengobati seluruh penduduk desa, Iman membutuhkan ribuan daun dari pohon kehidupan. Dan itu hanya bisa diambil andai tunas pohon itu sudah menjadi besar. Sang pemuda itu kecewa saat menyadari bahwa perjuangannya belum selesai, karena apa yang sudah dilakukannya untuk mendapatkan obat dari Gunung Kamulyan sia – sia saja andai penduduk desa dan keluarganya belum bisa disembuhkan.
Saat dia masuk di tapal batas desa dia sudah disambut dengan pandangan sinis oleh penduduk desa. Ternyata seluruh penduduk desa sudah terserang penyakit hilang ingatan, termasuk juga keluarganya. Dia bingung, dalam hati dia berharap akan disambut laksana pahlawan yang membawa harapan kesembuhan bagi pendududk desa., kenyataannya dia dipandang aneh oleh teman - temannya
Akhirya Iman membangun pondok jauh dipinggiran desa, sebagai tempat dia untuk menyemai tunas pohon kehidupan. Itu dia lakukan derngan tujuan mulia agar seluruh penduduk desanya bisa sembuh.
Ternyata terapi herbal dari daun pohon kehidupan itu bukan hanya dilakukan sekali, namun harus dilakukan dengan  rutin memakan daun tersebut. Akhirnya untuk menjaga kewarasannya Iman selalu makan daun itu.
Hari demi hari, minggu demi minggu bulan pun berganti bulan pohon kehidupan bertumbuh pelan sekali, setiap kali muncul tunas baru tunas yang lama sudah hamper habis dimakan Iman sendiri demi menjaga kewarasannya. Demikianlah pohon itupun tidak pernah cukup untuk mengobati penduduk desa.
Karena kejenuhan untuk menjadi orang aneh di desanya sendiri akhirnya Iman memutuskan untuk tidak memakan daun pohon kehidupan yang membuatnya semakin hari semakin hilang ingatannya dan menjadi sama dengan orang – orang didesanya.

KEMBALI KE BACAAN
Yunus adalah nabi yang mendapat tugas sama seperti Iman dalam cerita diatas, yaitu menyampaikan perintah Allah untuk bertobat kepada penduduk Ninewe ( dihuni suku bangsa Asyur musuh Israel). Tapi kerena ketakutan Yunus melarikan diri, sampai akhirnya dimakan ikan dan dimuntahkan lagi.
Perikom bacaan kita lebih menekankan pada sikap orang Ninewe saat merespon perintah Allah. Mereka segera bertobat menyesali diri dan berdoa, demikian juga para pemimpin nya. Sehingga Penyesalan mereka atas segala kesalahan yang dilakukan secara bersama- sama itu didengar oleh Allah.
Pertobatan massal demikian penulis mengistilahkannya, jadi sebuah kegiatan untuk kebaikan yang dilakukan secara bersama – sama dilandasi kesadaran diri untuk mengubah keadaan agar menjadi lebih baik.
Renungan ini sebenarnya merupakna respon saya terhadap tema pertobatan yang beberapa waktu sebelum paskah menjadi tema utama renungan  ibadah  di GKJW.
Sebuah kebaikan jika dilakukan sendiri itu baik bahkan sangat baik bagi diri sendiri maupun lingkunagn hanya efek yang ditimbulkan relative kecil dibandingkan jika  itu dilakukan secara bersama – sama.
Pertobatan kita juga demikian, andaikan seluruh masyarakat itu sepakat bahwa tindak korupsi itu jahat, maka secara otomatis budaya korupsi akan terkikis dengan sendirinya. Masalahnya semua orang menganggap korupsi, kolusi, nepotisme itu wajar. Seperti seorang yang menerima Tip dari apa yang sudah dilakukannya. Sehingga mengkikis budaya itu sangat susah.
Coba kita renungakan, beberapa kegiatan yang dilakukan bersama – sama untuk kebaikan bersama. Adakah yang berjalan mulus tanpa protes ??. Tapi coba kalau ada rencana mengadakan pasar malam dengan mengundangnArtis ibukota yang seksi – seksi, atau yang menjadi trendsetter, biarpun menghabiskan dana puluhan atau ratusan juta pasti yang protes hanya sedikit orang atau mungkin yang protes dianggap orang aneh atau sok alim.
Secara organisasi penulis respec dengan berita di TV bahwa DPP NU sedang merumuskan sebuah fatwa harap terhadap korupsi, dan meyebut koruptor itu Kafir
Pernah juga ormas tersebut menyerukan menunda bayar pajak sampai ada penjelasan resmi pemerintah terhadap korupsi di direktorat pajak ( kasus Gayus ).

Bagaimana dengan gereja ?? Beranikah gereja sebagai pemimpin umat untuk memaklumkan pertobatakan massal bagi jemaatnya ?? (penulis khok belum pernah mendengar gerakan tersebut)

PESAN.
Ada Sebuah Tulisan yang pernah saya baca diGunung Buthak (dekat Gunung Kawi dan G. Vanderman - Blitar) “ Kesalahan terbesar pendaki adalah TAKUT, dan dosa terbesar Pendaki adalah PUTUS ASA”

Bapak ibu sekalian, beriman itu adalah sebuah perjuangan, perjuangan itu butuh strategi, butuh keihklasan,butuh kerjasama. Dan taruhannya terberatnya adanya nyawa kita sendiri. Tapi buah perjuang iman itu adalah mahkota kehidupan kekal,
Jika perjuangan itu berat akankah kita takut??,
Jika perjuangan itu berat apakah kita putus asa??

Jawaban ada dikita masing – masing namun Yesus sebagai Panglima kita tidak pernah sekalipun memerintahkan kita mundur, dan janji yang Dia berikan adalah Kasih dan penyertaan yang tidak akan pernah putus selama – lamanya. Dan Allah telah menjanjikan mahkota kehidupan bagi umatnya yang setia.

" Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi dia." (Yakubus 1:12)